...
Aku melihatmu di tengah malam bernyanyi di sisi jendela
Suaramu mengundang cahaya dalam pekatnya
“Hari seperti obat yang menenangkan,
Dalam bintang kita tertawa
Melewati siang menanti malam,
Aku adalah angin dalam kemarau panjang
Yang memberikan kekuatan dalam setiap teriknya...”
Engkau terdiam lalu kulihat air mata jatuh di pipi mu
“Dia adalah embun dalam jiwaku
Yang menanti disentuh oleh baying-bayang
Dia adalah air dalam tanah kering
Yang akan memberikan nafas dijalanku...”
Engkau kembali terdiam di keheningan malam itu
...
Engkau tersenyum seperti bunga di musim semi,
Matamu bening isyaratkan kedamaian yang senantiasa terjaga
“Izinkan aku mati dalam keindahan atas keinginanku”
Engkau masih tersenyum dan kucium wangimu dari angin yang berhembus
“Aku menginginkan kematian
Bukan karena aku tak bisa bertahan untuk selalu bernafas di sisimu
Tapi aku mohon relakan aku untuk menempuh jalan yang kuinginkan.
Aku percaya akan kehidupan setelah kematian ini,
Disana aku menunggumu, di rumah yang akan menjadi istana kita nanti
Aku akan menunggu sambil menyulam sebuah baju hangat untukmu”
Senyum mu masih kusimpan dari pertemuan pertama di senja yang indah itu
“Tiga detik sebelum ajal menjelang adalah saat-saat sejati ku dalam kehidupan ini”
Dalam senyum itu engkau berkata.
Dia adalah nyanyian merdu Nelayan malang di antara puing-puing perahu tua...
Senin, 28 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar